TIPS MENGIRIM TULISAN KE MEDIA MASSA
Apa arti menulis bagimu? Menyebarkan gagasan? Menuangkan ide-ide? Berbagi pengalaman dengan pembaca? Menghibur orang banyak? Mencari eksistensi diri? Atau sekedar menghibur diri sendiri?
Pasti akan muncul banyak jawaban. Tiap orang pasti punya motif sendiri-sendiri dalam menulis. Maka dari itu, wajar juga jika muncul beragam jenis tulisan dari beragam orang yang profesinya berbeda-beda. Misal, sastrawan pasti akan menuliskan cerpen dan novel, puisi dan syair. Seorang wartawan akan menulis berita, baik hard news maupun feature. Seorang akademisi akan menulis jurnal ilmiah maupun laporan penelitian, dan seorang pengamat dan ilmuwan akan menulis esai ilmiah yang terkait dengan konsentrasi profesinya.
Setiap tulisan punya karakternya sendiri-sendiri, dan setiap penulis punya seleranya masing-masing. Puncak dari pencapaian orang yang suka menulis, siapapun mereka dan apapun profesinya, adalah melihat tulisannya sendiri dipublikasikan, entah dimuat di media atau diterbitkan sebagai buku/jurnal.
Bayangkan, jika cerpen buatanmu dimuat di koran minggu. Bayangkan jika esaimu yang kritis dimuat di kolom opini koran nasional. Bayangkan jika riset ilmiahmu dipublikasikan di jurnal kampus atau lembaga riset. Bayangkan, jika liputan beritamu menjadi headline di sebuah halaman koran. Pasti akan muncul rasa bangga di dadamu karena telah ikut berkontribusi menyebarkan ide, gagasan, informasi, bahkan hiburan, untuk orang banyak.
Apakah kamu suka menulis? Tulisan seperti apa yang kamu suka buat? Apakah kamu ingin tulisan karyamu dimuat di media? Ada bayaran lho jika tulisanmu dimuat di media profesional. Tertarik?
Kalau kamu membaca ini, saya asumsikan jawabannya iya. Nah, sayangnya, mengirim tulisan ke media memang agak sulit, rumit, dan kadang bikin putus asa. Mengaku saja, sudah berapa naskah yang kamu kirim ditolak oleh redaktur? Hehehe.
Ditolaknya tulisanmu oleh redaktur media bukan berarti kamu adalah penulis yang buruk. Bukan pula karena tulisanmu memang benar-benar jelek. Hanya saja, kadang mungkin kamu kurang memakai strategi yang baik dan terukur dalam mengirim tulisanmu. Kadang juga kamu memang kurang berusaha keras dalam meracik tulisanmu sendiri. Kamu bisa bilang tulisanmu bagus ketika kamu membacanya, tapi bukan berarti orang lain akan berpikir serupa!
Ingatlah bahwa redaktur sebuah media, dengan segala subjektivitasnya dalam menilai tulisan, hanya akan menerima tulisan yang menurut mereka bagus. Jadi jangan senewen kalau tulisan brilianmu masih ditolak padahal kamu sudah merasa bagus. Ingat! Menulis di media artinya adalah menulis untuk dibaca orang lain! Oleh pribadi-pribadi lain! Bukan kamu saja! Nah, kalau begitu, bagaimana caranya menulis sesuatu yang tidak hanya dirasa bagus oleh kita, tapi juga oleh orang lain yang membaca? Itu pertanyaan yang menarik bukan?
Bagaimana cara ampuh untuk bisa sukses memuat tulisan di media?
Kalau boleh jujur, saya sendiri juga tidak merasa menjadi orang yang kompeten untuk memberi tips sebagaimana yang dijanjikan oleh judul tulisan ini. Ya, memang benar dua tulisan saya pernah dimuat di dua media nasional, tapi itu cuma tulisan remeh yang tidak ada harganya. Saya pun memang pernah tiga tahun aktif di organisasi Pers Mahasiswa, itu juga masih banyak kekurangan dengan segala keterbatasan kami sebagai organisasi mahasiswa. Terakhir, media online yang sedang kamu baca ini pun juga media yang saya kelola, itu pun masih jauh dari kata profesional dengan kualitas tulisan yang terjamin.
Namun, dengan segala kekurangan dan kerendahan hati, saya memang punya beberapa tips yang mungkin cukup bisa dipertimbangkan oleh teman-teman semua. Tips ini saya kumpulkan dan kembangkan dari pengalaman pribadi saya mengirim tulisan ke media hingga menjadi redaktur di media ini. Saya juga mendapat banyak masukkan dari diskusi dengan teman-teman editor dan redaktur di media-media lain. Harapannya, tips ini bisa membantumu untuk mengirim tulisan ke media seperti yang kamu impikan, atau katakanlah, ini juga sebagai kisi-kisi resmi dari saya bagi yang ingin mengirim tulisan ke isigood.com.
Silahkan dibaca dan dipraktekkan jika dirasa bermanfaat. Ketidakmanjuran tips ini di luar tanggung jawab saya. Hihihi.
1. Pahami karakter tiap media dan karakter tulisan yang dimuat di media tersebut
Poin ini benar-benar harus masuk jadi yang pertama. Berdasarkan curhatan dari banyak redaktur media yang sampai ke telinga saya, banyak sekali tulisan bagus yang SALAH ALAMAT. Tulisannya tentang apa, media yang dikirimi karakternya kayak gimana. Contoh: Ada orang yang membuat cerpen dengan tema remaja populer berbahasa “loe-gue.” Orang tersebut mengirim tulisannya ke Koran Tempo untuk dimuat di cerpen minggu. Bisa dibayangkan bagaimana Nirwan Dewanto, redaktur cerpen Koran Tempo, bakal geleng-geleng kepala.
Misalnya lagi ada kiriman tulisan resensi buku anak, malah dikirim ke Majalah Men’s Health. Ada kiriman esai tentang ulasan politik, dikirim untuk Majalah Hai. Ya tidak nyambung!
Oke, mungkin kelihatannya contoh barusan masih ekstrim. Kesannya sangat sepele dan seharusnya semua orang pasti bisa menyesuaikan karakter tulisannya denga media yang akan ia kirimi. Ternyata tidak juga! Masih cukup banyak orang – yang tanpa dosa – mengirim cerpen drama keluarga ke majalah anak. Dengan harapan seolah-olah cerpen drama keluarga itu masih “nyambung-nyambung” ama si majalah anak. Nyatanya tidak.
Ingatlah bahwa dalam sebuah media, selalu ada “Redaktur” itu tadi, yaitu orang yang menjadi penjaga gawang bagi tulisan yang masuk ke meja redaksi. Redaktur tersebut akan membaca, menilai, dan memutuskan dimuat atau tidaknya sebuah tulisan kiriman orang luar.
Apa yang menjadi pertimbangan seorang redaktur untuk menerima atau menolak sebuah tulisan? Banyak! Semua media punya budaya, standar, dan prosedur penyaringan tulisan masing-masing demi menjaga kualitas tulisan yang dimuat. Wajar saja karena mereka harus menjaga kredibilitas media mereka dengan memastikan tulisan yang dimuat sesuai dengan standar yang mereka buat. Sehingga, yang paling penting bagi kita para penulis, adalah memahami karakter si media tersebut selama ini. Pahami apa saja tulisan yang sering mereka muat, baik tulisan dari pembacanya maupun dari staf redaksi internal mereka. Kalau perlu, pahami juga kedudukan politik mereka, tidak jarang media memang lebih mau menerima tulisan dengan kedudukan politik yang mirip dengan mereka.
Jadi, wahai para penulis muda yang bersemangat, sebelum mengirim tulisanmu, bacalah dulu media-media yang jadi sasaranmu. Pahami apa visi mereka, filosofi mereka, tema besar mereka, dan tulisan-tulisan seperti apa yang biasanya mereka muat. Dengan begitu, kamu bisa tahu kemana saja seharusnya kamu mengirim tulisanmu. Jangan sampai dengan polosnya kamu mengirim tulisan yang sama ke semua media.
Bayangkan betapa malangnya seorang redaktur Kolom Opini Kompas membaca kiriman tulisanmu yang bunyinya:
AssalamualaikumSebenarnya tulisan di atas tidak jelek, namun kalau kita cermati baik-baik, kita tahu dari awalannya saja bahwa:
Apa kabar pembaca yang budiman? Semoga kita senantiasa diberi hidayah oleh Allah SWT dalam segala aktivitas yang kita lakukan. Pada kesempatan kali ini, saya Annisa Nur Hasanah, ingin berbagi sebuah cerita motivasi. Harapannya, cerita ini bisa memperkuat keimanan kita pada Allah SWT. Amin.
- Itu cerpen, bukan opini seperti halnya yang diharapkan oleh redaktur Kolom Opini Kompas. Jadi dari jenis tulisan saja, mbak Annisa ini sudah salah alamat.
- Kalau pun dikirim ke cerpen Kompas, redakturnya juga tidak akan melirik sedikit pun, karena:
- Ada tendensi keagamaan di situ, sementara Kompas bukanlah koran dengan nilai keagamaan tertentu.
- Itu adalah cerita remaja, rubrik Cerpen Kompas bukanlah cerpen remaja.
2. Perhatikan dengan cermat tulisanmu dari segi kebahasaan dan EYD.
Ini juga tidak kalah pentingnya. Memang benar tiap jenis tulisan itu jenisnya berbeda-beda, dan karakter media juga kerap berbeda-beda standar dan karakternya. Praktis, segalanya jadi terasa relatif. Namun, ada satu hal yang akan selalu sama dimanapun. Ya, Bahasa Indonesia yang baik dan benar.Oke, mungkin standar kebahasaan pun masih relatif antara satu media dengan media lain., Karena tiap media juga punya standar kebahasaan yang berbeda.
Tapi apa benar begitu sekarang cobalah kamu baca tulisan ini apa kamu merasa tidak nyaman kamu merasa ada yang aneh kenapa rasanya jadi ada yang janggal kamu jadi malas membacanya padahal rasanya kata-katanya baik-baik saja indah pula tapi kok ya jadi bingung ini kalimat kenapa gak selesai-selesai ya sudah saya akhiri saja wah bahkan saat diakhiri pun saya tidak menyertakan tanda titik di akhir kalimat ini ceroboh sekali ah sudahlah nanti biar editornya saja yang memberi tanda baca yang benar toh aku sudah menulis bagus lumayanlah biar editor ada kerjaan masa digaji butaPusing kan? Kamu boleh percaya boleh tidak, tapi nyatanya, banyak sekali penulis yang malas menata tanda baca mereka. Kalimat sudah selesai, tapi tidak dikasih titik. Kalimat mengandung tanya atau perintah, tapi tidak dikasih tanda tanya dan tanda seru. Huft… *curhat maksimal*
Seringkali ketika penulis mengirim tulisannya ke media lewat email, mereka berpesan: “Silakan untuk kakak editor mengedit atau merombak tulisan ini jika terdapat kesalahan. Mohon maaf jika masih belum sempurna. Saya memang masih harus banyak belajar.”
Well, kami redaktur senang-senang saja ada penulis yang punya niat teguh seperti itu. Apalagi ketika kami beri komentar dan kritik atas tulisan kiriman mereka, senang sekali kalau mereka mau memperbaikinya dan terus belajar. Tapi akan sangat membantu jika adik-adik penulis mau mempelajari Bahasa Indonesia yang baik dan benar sebelum memutuskan menulis dan mengirim tulisan ke media. Kami yakin hasilnya pun belum akan sempurna, tapi minimal kan kami juga tidak kewalahan menyunting kebahasaan yang sebenarnya terlalu mendasar.
Coba bayangkan kalau ada tulisan yang diterima redaktur bentuknya seperti ini:
Disini saya akan bercerita tentang pengalaman saya ikut summer camp di Jerman dimana saya merasa amat senang sekali karena bnyak sekali pengalaman yang keren sekali yg saya dapat disana yang tidak bisa dilipakan. Sya ikut summer camp awalnya ditawari oleh kakak kelas saya namanya Randy yang juga dulu jadi angkatan pertama Summer Camp yang saya juga ditawari ini. Ia bilang udah ikut aja pasti banyak yang bisa kamu pelajari disana, awalnya saya ragu karena saya takut kalau harus jauh dari orang tua nanti kalau ada apa-apa gimana. Tapo yasudah dengan mengucap bismillah saya mendaftar untok ikut summer camp ini waktu itu hari pendaftaran nya hari senin, hampir saja saya gagal mendaftar karena lewat deathline tapi untung masih bisa mendaftar, saya mendaftar ditemani mas Randy. Maka dimulailah saya persiapan selama sebulan mengecek semua persyaratan yang ada juga tidak lupa meminta doa restu kedua orang tua agar perjalanan saya berkah. Mereka berpesan agar saya menuntut ilmu sebanyak-banyaknya disana tapi juga hati-hati dengan gaya hudup disana kata mereka saya tidak boleh lupa bahwa saya orang ondonesia yang harus berpegang teguh pada nilai budaya bangsa dan agama.Apa kamu pusing dan bingung membacanya? Sama, saya juga. Jika kamu teliti, kamu bisa menemukkan berbagai macam struktur kalimat yang tidak lengkap, patah, dan tidak nyambung. Tanda baca juga sangat tidak disiplin, makannya kalimatnya terasa panjang dan membingungkan. Ia juga menulis kata “disini” dan “disana” tanpa spasi, artinya ia tidak bisa membedakan antara “di” sebagai imbuhan dan sebagai preposisi.
Paragraf ini terlalu panjang untuk disebut paragraf, karena kita tahu sebuah paragraf sejatinya mengandung satu pokok pikiran sehingga tidak mungkin terlalu panjang. Belum lagi typo di sana-sini dan spasi yang berlebih antar kata.
Kawan, jika kamu mengirim tulisan dengan kondisi begini, hampir bisa dipastikan redaktur yang menilaimu akan langsung berhenti membaca.
Kawan, tugas redaktur itu banyak, setiap hari mereka harus meninjau dan menyunting banyak naskah internal, sehingga tidak punya banyak waktu untuk menyunting tulisanmu yang dari kalimat awalnya saja sudah membingungkan, apalagi menceramahimu dengan berbagai hal mendasar tentang Bahasa Indonesia.
Memang sih, jika redakturnya bisa meluangkan waktu, bisa saja mereka menyunting tulisanmu sehingga EYD dan kebahasaannya benar, dan saya yakin tulisan semonoton seperti di atas pun bisa jadi menarik. Namun, itu akan memakan banyak sekali waktu dan tenaga para redaktur, sehingga mereka akan memilih menyunting tulisan lain yang ditulis oleh penulis yang lebih handal.
Jika pun ide tulisanmu bagus, dan kebahasaanmu masih lumayan, namun kemalasanmu untuk merapihkan typo maupun kesalahan spasi juga kadang menjengkelkan. Tidakkah bisa kamu meluangkan waktu barang sejenak, sebelum mengirimkan tulisanmu ke media, untuk memeriksa tulisanmu sendiri? Malang sekali para redaktur itu jika harus membenarkan kata-kata yang typo atau memecah kalimat yang terlalu panjang menjadi dua kalimat. Ayolah, bantu kami jika ingin tulisanmu dimuat. Hihihi.
Nah, sekarang jadi tahu kan, apa saja kesalahan kebahasaan sepele yang bisa kamu antisipasi guna meluluhkan hati redaktur? Catat ya, poin-poin itu semua. hehehehe.
3. Tawarkan sesuatu yang baru dan orisinil. Jangan hanya menyadur ide lain, atau bahkan melakukan plagiasi.
Memang benar bahwa tidak ada yang murni orisinil di dunia ini, karena pada dasarnya apapun yang kita hasilkan, termasuk menulis sebuah tulisan, adalah bentuk modifikasi dari tulisan lain yang pernah kita baca di masa lampau. Namun, ada kalanya kita bisa tampil dengan kreatif menghasilkan sesuatu yang lain dari hal serupa yang pernah ada.Ketika kita menulis cerpen misalnya, sudah jelas cerpen itu adalah sebuah bentuk karya prosa dengan ciri khas utama berupa tulisannya yang singkat, sehingga alurnya tidak akan rumit dan ceritanya akan selesai dalam beberapa halaman saja. Jadi pada dasarnya cerpen bukanlah sesuatu yang orisinil, jutaan orang di bumi ini sudah pernah membuat cerpen sebelum kamu. Kamu tidak membuat genre baru dalam dunia sastra. Kamu hanya membaca beberapa cerpen, dan kini berusaha membuat karya serupa.
Tapi bagaimana kalau misalnya kamu bisa menulis cerpen yang pembawaannya sama sekali lain dengan cerpen biasanya? Contoh:
Contoh 1:
Senapan yang kupanggul itu kuelus seperti mengelus seorang bayi. Betapa aku menyayanginya seperti menyayangi anakku sendiri. Dialah yang melindungiku dari musuh-musuhku, mencabut nyawa mereka yang hendak mencabut nyawaku, dan menemaniku tidur di parit-parit persembunyian.
Aku tidak pernah suka dengan manusia. Mereka adalah makhluk korup yang khianat. Merekalah yang menggagas perang mengerikan ini. Aku tahu tabiat manusia seperti apa, dan sungguh, makin aku mengenal manusia, makin aku menyayangi senapanku.
Contoh 2:
Barangkali aku memang sedemikian tidak berharga, sampai-sampai majikanku tidak mau menjamahku lagi bertahun-tahun lamanya. Aku dikurung di sebuah laci sempit. Seekor laba-laba membangun rumah di sekujur tubuhku. Orang-orang begitu munafik mengatakan bahwa aku adalah keajaiban Tuhan. Mereka bilang bahwa akulah kunci dari pengetahuan, yang mana jika manusia membaca tulisan yang tertera di tiap sendi tubuhku, niscaya mereka akan menjadi cerdas mandraguna.
Bodoh sekali aku termakan rayuan gombal itu. Aku tahu aku sedemikan tidak berharganya, hingga aku yakin jika ada maling membongkar masuk ke rumah ini, mereka tidak akan sudi mencuri aku. Mereka malah lebih tertarik mencuri lembar-lembar kertas kecil tak bermakna yang ada tulisan angkanya itu. Mereka juga lebih memilih membongkar sebuah lemari besi tebal demi mengambil bongkahan logam berwarna kuning yang entah apa gunanya. Tidak mungkin mereka mau membebaskan aku dari laci sempit ini, kendati laci ini tidak dikunci. Menjengkelkan sekali.
Kedua contoh potongan cerpen di atas punya karakteristik yang cukup berbeda. Contoh pertama menggunakan perspektif orang pertama, maka itu ada kata “aku” di dalamnya yang berperan sebagai kata batin tokoh utama sekaligus narator cerita. Sang tokoh utama dalam cerita tersebut adalah manusia seperti kita.
Sementara contoh kedua pun menggunakan perspektif orang pertama, jadi tidak ada yang benar-benar orisinil, kecuali bahwa si tokoh pertama di sini adalah sebuah buku, bukan orang. Proses mempersonifikasi benda mati (disebut masking) seperti ini bukan hal baru dalam dunia sastra, namun memang jarang dipakai.
Kebanyakan cerpen memang lebih suka memakai tokoh utama berbentuk manusia dengan segala kisah pergulatan batin mereka, seperti yang kamu baca di contoh pertama barusan. Namun, mengangkat benda mati sebagai tokoh hidup alias memanusiakan si benda mati, adalah sesuatu yang menarik. Dengan menganggap dirimu sendiri adalah benda mati, kamu bisa secara unik menemukkan hal-hal humanis serta pandangan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Dari hasil kepo saya di forum redaktur tertentu, banyak sekali redaktur cerpen yang bilang bahwa mereka selalu menantikkan kiriman cerpen dengan kebaruan perspektif.
Maksudnya baru berarti cerpen tersebut segar dan kreatif dari segi ide, gagasan, pesan, pembawaan, diksi, nuansa yang dibangun, dan lain sebagainya, bukan hanya mengolah pola maupun konsep cerpen pada umumnya yang pasti terasa monoton bagi siapapun. Tentu saja, hal ini berlaku untuk tulisan lain selain cerpen.
Nah, hal yang harus kamu hindari adalah merekayasa ide tulisan orang lain dan kamu olah menjadi tulisanmu, seolah-olah itu gagasan aslimu. Ingat! Bedakan dengan mengutip. Jika mengutip, artinya kamu bilang secara jujur bahwa ada sebuah gagasan orang lain yang membuatmu terinspirasi untuk berargumentasi dalam tulisanmu, kemudian kamu tambahkan dalam tulisanmu gagasanmu sendiri. Maka tulisanmu tersebut akan lebih berharga karena kamu terkesan telah melakukan riset mengenai topik yang kamu angkat, dengan cara memasukkan argumentasi orang lain yang telah kamu riset.
Lain cerita jika kamu plagiat. Kamu membaca karya orang lain, menyerap ide dan gagasannya, dan secara tidak bertanggungjawab membuat ulang tulisan serupa tanpa mencantumkan sumber pencetus asli gagasan tersebut. Kamu bahkan mengklaim sebagai penggagas asli dari tulisan tersebut.
Ingatlah kawan, redaktur di media-media besar sudah biasa membaca ribuan artikel sepanjang karirnya di dunia kata-kata. Seringkali mereka tahu dan paham tentang garis besar ide dan gagasan para penulis opini di berbagai macam tempat. Sehingga, ketika mereka membaca tulisan plagiatmu, mereka bisa langsung menyadari bahwa ada yang salah dengan tulisanmu, atau setidaknya mereka tahu bahwa topik yang kamu bahas pernah dibahas oleh artikel sebelumnya di masa lampau.
Jadi, jangan kaget jika akhirnya mereka mengembalikan naskahmu dengan pesan yang cukup halus: “mohon maaf, tulisan anda tidak bisa kami terima. Tema yang sama pernah dibahas oleh artikel lain sebelumnya.”
4. Ikuti perkembangan isu, buatlah tulisan yang membahas tentang isu yang sedang hangat
Ini adalah cara yang sangat mudah untuk mengirim tulisan apapun ke media manapun. Ingatlah bahwa pada dasarnya, misi sebuah media adalah menjadi sarana informasi dan berita atas isu maupun peristiwa yang terjadi. Kendati ada rubrik non-fiksi seperti cerpen maupun rubrik non-berita seperti kolom opini, tetap saja media pasti mengincar pembahasan tentang isu-isu yang sedang marak, agar pembaca mereka senang dan puas.Praktis, cara gampang untuk mengirim tulisan ke media adalah mengirim tulisan yang temanya sesuai dengan isu yang sedang berkembang. Contoh mudahnya, di saat Pilpres, ada baiknya kamu kirim tulisan opini tentang maraknya kampanye hitam berbau SARA di media sosial. Jika tulisanmu memang bagus dan argumentasinya kuat, besar kemungkinan tulisanmu dimuat.
Bayangkan jika saat Pilpres kamu menulis tentang mitigasi bencana alam di Indonesia, tentu akan sulit mendapat perhatian media. Simpanlah tulisanmu sampai saat ramai ada bencana alam yang terjadi, tentu tulisanmu akan lebih mudah diterima.
Penutup
Sudah memahami tips-tips barusan? Nah, saatnya kamu menarik nafas panjang. Yakinkan pada dirimu sendiri, bahwa kamu bisa menjadi penulis hebat. Bagaimanapun, tulisan yang paling baik bukanlah opini, esai, cerpen, sajak, ataupun riset ilmiah. Tulisan terbaik adalah tulisan yang berhasil ditulis, bukan hanya mengendap di kepala. Tulisan terbaik adalah tulisan yang dibaca oleh banyak orang, bukan mengendap di komputer atau buku catatan. Add to Cart
0 komentar:
Posting Komentar